Langsung ke konten utama

ALIH FUNGSI LAHAN GAMBUT


Hasil gambar untuk gambut
helloo.. guys kali ini aku bakalan ngasih kalian info tentang dampak alih fungsi lahan. seperti yang kita tauh nihh lahan pertanian mulai banyak di alih fungsikan menjadi gedung-gedung untuk itu pemerintah melakukan alih fungsi lahan potensial bagi pertanian untuk menambah luas areal pertanian. sebelum melakukan alih fugsi alangkah baiknya kalau kita mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin terjadi. jadi kali ini aku bakal ngasih info ke kalian soal dampak alih fungsi lahan gambut yang dapat meningkatkan GRK..
 
ALIH FUNGSI LAHAN GAMBUT SEBAGAI LAHAN PERTANIAN MENINGKATAN EMISI GAS RUMAH KACA
Oleh: Fatma Akhir Ningtias


Abstrak: Untuk meningkatkan lahan produtif pertanian pemerintah mengalihfungsikan lahan gambut yang ada.  Tahap alih fungsi lahan sendiri meliputi land clearing, drainase, dan penanaman. Pada setiap tahap pengolahan lahan tersebut terdapat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan. lahan gambut yang semula sebagai penyerap serta pengemisi GRK yang sebanding berubah menjadi pengemisi GRK yang lebih banyak. Hal tersebut dapat terjadi karena sifat lahan gambut yang sensitif terhadap perubahan yang dilakukan oleh manusia.

Kata kunci: drainase, emisi, gas rumah kaca, land clearing

Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marginal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marginal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil (Agus dan Subiksa, 2008).
Menurut BB Litbang SDLP (dalam Agus dan Subiksa, 2008) Indonesia memiliki lahan gambut terluas diantara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta hektar yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut sendiri memiliki keragaman pada tingkat ketebalan maupun kematangan gambut. Untuk dapat digunakan sebagai lahan pertanian lahan gambut harus memenuhi syarat tertentu. Dalam hal ini pemerintah telah menentukan kriteria lahan gambut yang dapat dialihfungsikan, kriteria tersebut adalah: (a) lahan gambut berada di kawasan budidaya, (b) ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) lapisan tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) gambut mentah tidak boleh digunakan; dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut tergolong eutropik. Berdasarkan kriteria tersebut (Agus dan Subiksa, 2008) mendapati dari 18,3 juta hektar lahan gambut di Indonesia hanya 6 juta hektar yang layak untuk pertanian.
Lahan gambut merupakan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan masa lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm (Dariah, Eni Maftuah, dan Maswar, 2014). Lebih lanjut menurut (Agus dan Subiksa, 2008) lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Dapat dikatakan lahan gambut adalah tanah jenuh air yang kaya akan bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan masa lampau yang melapuk dengan ketebalan leih dari 50 cm.
Alih fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian dapat memberi dampak buruk bagi lingkungan. Salah satu dampak tersebut adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca. Lahan gambut yang ada dapat mengemisikan gas rumah kaca karena beberapa kegiatan yang dilakukan manusia. Berikut merupakan pembahasan mengenai bagaimana alih fungsi lahan gambut dapat menyebabkan peningkatan gas rumah kaca.

TAHAP ALIH FUNGSI LAHAN GAMBUT MENINGKATKAN EMISI KARBON
Pembukaan lahan atau land clearing merupakan salah satu tahapan untuk alih fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian. Land clearing dapat dilakukan dengan penebangan maupun pembakaran lahan gambut. Menurut (Agus dalam Widyati, 2011) penebangan pohon-pohonan dapat meningkatkan ketersediaan bahan organik segar yang mudah dirombak secara aerobik yang menghasilkan CO2, maupun secara anaerobik yang menghasilkan Ch4. Sama halnya dengan penebangan hutan pembakaran dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pembakaran yang merupakan oksidasi dari biomasa dan lapisan gambut dapat menghasilkan CO2 yang dapat menambah karbon diudara. Pada beberapa praktek pertanian tradisional pembakaran sengaja dilakukan untuk mengurangi kemasaman dan menambah kesuburan tanah.
Setelah melalui tahap land clearing lahan gambut akan dikeringkan (drainase). Pengeringan (drainase) gambut dapat merubah suasana anaerob menjadi aerob. Kondisi aerob tersebut akan meningkatkan laju dekomposisi gambut sehingga meningkatkan pelepasan CO2 (Agus dalam Widyati, 2011).
Tahap alih fungsi selanjutnya adalah penambahan pupuk. Pupuk perlu ditambahkan agar tanaman yang akan dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik. Namun dengan penambahan pupuk terutama pupuk nitrogen dapat menurunkan rasio C/N yang dapat meningkatkan dekomposisi bahan organik oleh jasad renik. Berbagai jenis pupuk dan amelioran yang meningkatkan pH gambut juga mempercepat perombakan gambut oleh jasad renik (Agus dalam Widyati, 2011).

PERBANDINGAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA LAHAN GAMBUT ALAMAI DENGAN LAHAN YANG TELAH DIOLAH
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat sensitif terhadap campur tangan manusia. Apabila terjadi sedikit perubahan maka kemampuan lahan gambut untuk menyerap karbon akan lebih sedikit dibandingkan gambut mengemisikan karbon. Dalam kondisi normal lahan gambut dapat menyerap dan mengemisikan karbon secara bersamaan dengan perbandingan yang tidak signifikan. Menurut Paris (dalam Widyanti, 2011) dalam keadaan hutan alami gambut normal yang umumnya jenuh air (suasana anaerob) menambatkan (sekuestrasi) karbon lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi karena kecepatan pembentukan gambut hanya berkisar antara 0-3 mm/tahun. Menurut (Agus dan Subiksa, 2008), Gas rumah kaca utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2, CH4 dan N2O. Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan gambut yang tergenang atau yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm).
Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi gas rumah kaca (Agus dalam Widyati, 2011).
Tabel 1. Emisi karbon dari permukaan hutan gambut terdegradasi dan dari lahan pertanian gambut terlantar di Kalimantan Tengah
Penggunaan lahan
Emisi ton/ha/tahun
CO2
CH4
Hutan gambut tidak didrainase
38,9
0,014
Hutan gambut yang terpengaruh drainase
40,0
0,013
Hutan gambut sekunder bekas tebang bersih
34,0
0,001
Lahan pertanian berdrainase, dalam keadaan tidak dikelola
19,28
0,001
Dikutip dari: Agus dan Subiksa (2008)

EMISI GAS RUMAH KACA PADA JENIS BUDIDAYA DAN JENIS GAMBUT
Tingkat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh lahan gambut dapat berbeda-beda. Pembeda tersebut tergantung pada jenis tanaman yang ditanam pada lahan yang telah dialih fungsikan serta jenis lahan gambut yang dipilih untuk dialih fungsikan. Menurut (Agus dan Subiksa, 2008) perkebunan karet mengemisi karbon sebesar 18 ton CO2/ha/tahun, lahan sawit dengan drainase sedalam 60 cm mengemisi karbon sebesar 54,6 ton CO2/ha, dan pada lahan sawit dengan drainase 80 cm emisi sebesar 54 to CO2/ha/tahun (Agus dan Subiksa, 2008). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa jenis tanaman akan memengaruhi tingkat emisi karbon
Berdasarkan tingkat kematangannya lahan gambut dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu lahan saprik, hemik, dan fibrik. Lahan saprik dengan tingkat kematangan yang tinggi akan mengemisikan karbon lebih sedikit dibandingkan dengan lahan hemik dan fibrik. Hal tersebutlah yang mendasari pemerintah untuk membuat peraturan terkait penggunaan lahan gambut untuk pertanian. pemerintah menetapkan agar lahan saprik dan hemik saja yang dialih fungsikan mengingat tingkat emisi gas rumah kacanya yang rendah.

PENUTUP
Lahan gambut merupakan lahan marginal yang sangat potensial untuk dijadikan lahan pertanian. Namun pada proses pengolahan, lahan gambut mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang cukup banyak. Selain itu pada penggunaan lahan gambut untuk tanaman tertentu juga menyumbang emisi gas rumah kaca. Oleh sebab itu alih fungsi lahan gambut yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan yang ada agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Keseriusan untuk memperbaiki lingkunan dari emisi gas rumah kaca dapat dilakukan dengan pelaksanaan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Dengan aturan tersebut diharapkan emisi yang ditimbulkan dapat lebih berkurang.

DAFTAR RUJUKAN
Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF).
Dariah A, Eni Maftuah, dan Maswar. 2014. Karakteristik Lahan Gambut. Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi, (Online), Hal. 16-29, (http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/en/publikasi-mainmenu-78/art/ 935-gamb)
Widyati, E. 2011. Kajian Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Perubahan Iklim. Tekno Hutan Tanaman, (Online), Jilid 4, No. 2, (http://forda-mof.org/files/KAJIAN_ OPTIMASI_PENGELOLAAN_LAHAN_GAMBUT.pdf)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

penggorengan

halloallohallo kali ini aka bakalan bahas soal cara pengolahan produk hasil pertanian yang sangan familiar banget buat kalian.. yupp bahasnya tentang pengolahan penggorengan. tapi sebenernya selain penggorengan ada banyak banget proses pengolahan buat produk pertanian seperti pemanggangan, pemanasan, pendinginan, dll. kali ini info yang aku berikan soal penggorengan yaa..   PENGGORENGAN a.        Prinsip Penggorengan Menurut (Noviyanti, 2013) penggorengan memiliki prinsip sebagai berikut: ·          Tahap pemanasan awal Bahan makanan terendam minyak panas hingga suhunya sama dengan titik didih minyak. Perpindahan panas yang terjadi antara minyak dengan bahan pangan merupakan perpindahan konveksi dan belum terjadi penguapan air dalam bahan. ·          Tahap pendidihan permukaan Pada tahap ini mulai terjadi penguapan air permukaan. Penguapan tersebut mengakibatkan terbentuknya crust. ·          Tahap laju menurun Terjadi perubahan fisika kimia seperti gel

sistem tanam sri dan legowo

Perbedaan Sistem Tanam Jajar Legowo dan SRI A.     Jajar Legowo Sistem tanam jajar legowo merupakan sistem tanam yang memperhatikan larikan tanaman, sistem   tanam   jajar   legowo   merupakan   tanam   berselang   seling   antara   2   atau   lebih   baris   tanaman padi dan satu baris kosong (Misran, 2014). Sistem jajar legowo memberikan lebih banyak tanaman yang menjadi tanaman pinggir. Tanaman pinggir tersebut akan memperoleh sinar matahari lebih banyak dan sirkulasi udara yang lebih baik. Selain itu unsur hara tanaman lebih merata dan pemeliharaan tanaman lebih mudah. Menurut Misran 2014 sistem tanam jajar legowo memiliki dampak pada pertumbuhan tanaman, komponen hasil, dan hasil gabah. Uraian penjelasan tersebut sebagai berikut: Pertumbuhan Tanaman : Pertumbuhan tanaman dapat diamati dari tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum   dan   produktif.   Sistem jajar legowo tidak berpengaruh pada